Teori Behavioristik

Selasa, 29 November 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Teori belajar behaviorisme ini berorientasi pada hasil yang dapat diukur
dan diamati. Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori
behavioristik ini adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku
yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau Penilaian didasari atas perilaku
yang tampak. Dalam teori belajar ini guru tidak banyak memberikan ceramah,
tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh baik dilakukan sendiri maupun
melalui simulasi.
Di awal abad 20 sampai sekarang ini teori
belajar behaviorisme mulai ditinggalkan dan banyak ahli psikologi
yang baru lebih mengembangkan teori belajar kognitif dengan asumsi dasar bahwa
kognisi mempengaruhi prilaku. Penekanan kognitif menjadi basis bagi pendekatan
untuk pembelajaran. Walaupun teori belajar tigkah laku mulai ditinggalkan
diabad ini, namun mengkolaborasikan teori ini dengan teori belajar kognitif dan
teori belajar lainnya sangat penting untuk menciptakan pendekatan pembelajaran
yang cocok dan efektif, karena pada dasarnya tidak ada satu pun teori belajar
yang betul-betul cocok untuk menciptakan sebuah pendekatan pembelajaran
yang pas dan efektif.
B. RUMUSAN
MASALAH
Adapunrumasanmasalahdalamhaliniialah
:
- Pengertian Belajar
Menurut Pandangan Teori Behavioristik
·
Ciri dari Teori Belajar Behaviorisme
- Tokoh-tokoh
Aliran Behavioristik
·
Analisis Tentang Teori Behavioristik
- Aplikasi Teori
Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
·
Prosedur-prosedur Pengembangan Tingkah Laku Baru
- Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan
Tingkah Laku
C. TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan
rumusan masalah diatas ,maka dapat disimpulkan bahwa tujuan penulisan makalah
inisebagai berikut :
- Untuk mengetahui Pengertian Belajar
Menurut Pandangan Teori Behavioristik, Ciri dari Teori Belajar
Behaviorisme, Tokoh-tokoh Aliran Behavioristik, Analisis Tentang Teori
Behavioristik, Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran, Prosedur-prosedur
Pengembangan Tingkah Laku Baru, Prosedur-prosedur Pengendalian atau
Perbaikan Tingkah Laku.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori
Behavioristik
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur,
diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan
terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif
terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan
dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan
menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang
berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus
dapat diamati dan diukur.
B.
Ciri dari Teori Belajar Behavioristik
Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkah laku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah laku adalah hasil
belajar. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu
hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku
tersebut.
C.
Tokoh-tokoh Aliran Behavioristik
1. Teori Belajar Menurut
Thorndike
Menurut Thorndike,
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat
kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak
konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan
teori koneksionisme, koneksi disebut sebagai koneksi saraf yang disebut
sambungan saraf antara stimuli (S) dan respon (R). Agar tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat sertamelalui percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)
terlebih dahulu (Slavin, 2000).
2.
Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan
belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur.
Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai
hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah
seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan
ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada
pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
3.
Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga
menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan
kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi
sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan)
dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Bell, Gredler, 1991).
4.
Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie
yang utama adalah hukum kontiguiti. yaitu gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh
gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar.
Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi
stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar
hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon
bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu
sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat
lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori
ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa
harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler,
1991).
5. Teori Belajar Menurut
Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus
dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh
tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling
berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
D.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus
untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan
kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan
tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang
sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik.
Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya
terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran
seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program
pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon serta
mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi
sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi
tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan
dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu
pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon
yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau
perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju
atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang
mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang
dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie,
yaitu:
- Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku
sangat bersifat sementara.
- Dampak psikologis yang buruk mungkin akan
terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung
lama.
- Hukuman
yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk
daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang
disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus)
agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan.
Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus
ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan
kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa
untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif.
Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya
adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi
agar memperkuat respon.
E.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan
Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa
pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping)
dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini
semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal
ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang
paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan
cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau
hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
ke orang yang belajar atau siswa. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek
pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena
itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh
para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable
kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan
kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus
dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah
terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan tes tulis. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Menyikapi Perilaku yang Sulit di Kelas
- Mengurangi dan menghilangkan perilaku yang tidak
diinginkan
- Jangan memberikan penguatan pada perilaku yang
tidak diinginkan
- Berikan isyarat pada para siswa ketika anda
melihat mereka berperilaku tidak sesuai
- Doronglah dan beri penguatan terhadap perilaku
yang berlawanan dengan perilaku yang tidak diinginkan
- Jelaskan baik perilaku yang tepat maupun tidak tepat,
juga konsekuensi-konsekuensinya, dengan kata-kata yang jelas dan
eksplisit.
- Tekankan bahwa perilakulah, dan bukan siswa, yang
tidak diinginkan.
- Bantulah siswa memahami mengapa perilaku tertentu
tidak dapat diterima.
- Ketika perilaku yang tidak
patut terus berulang kendati telah mengerahkan segenap usaha untuk
memperbaikinya, carilah nasehat ahli.
F. Prosedur-prosedur
Pengembangan Tingkah Laku Baru
Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku,
ada dua metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru
yakni shaping dan modelling.
- Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang
kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks ini
dapat diajarkan melalui proses “shaping” atau “successive
approximations” (menguatkan komponen-komponen respon final dalam usaha
mengarahkan subyek kepada respon final tersebut), beberapa tingkah laku yang
mendekati respon terminal. Bila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan
dengan memberikan reinforcement pada langkah-langkah menuju
keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang disebut shaping. Reinforcement
dan extinction merupakan alat agar terbentuknya tingkah laku operant
baru.
Frazier dalam (Sri Esti,2006: 139) menyampaikan penggunaan shaping
untuk memperbaiki tingkah laku belajar. Ia mengemukakan lima langkah perbaikan
tingkah laku belajar murid antara lain:
· Datang di kelas pada
waktunya.
· Berpartisipasi dalam
belajar dan merespon guru.
· Menunjukkan hasil-hasil
tes dengan baik.
· Mengerjakan pokerjaan
rumah.
· Penyempurnaan.
2. Modelling.
Dalam modelling, seorang individu belajar menyaksikan tingkah laku
orang lain sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling
atau imitasi, sehingga kadang-kadang disebut belajar dengan pengajaran
langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan musik dipelajari dengan mengamati
tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi, baik dengan “direct
reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”. Misalnya,
seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita
akan merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk
melakukannya. Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman belajar pertama
termasuk reinforcement langsung dengan meniru model (orang tuanya). Hal
yang biasa jika kita mendengar bahwa anak kita dengan bangga mengatakan, bahwa
dia telah mengerjakan sebagaimana yang telah dikerjakan orang tuanya. Modelling
juga dapat dipakai untuk mengajarkan ketrampilan-ketrampilan akademis dan
motorik.
Clarizio (1981) memberi contoh bagus tentang bagaimana guru menggunakan modelling
untuk mengembangkan minat murid-murid terhadap literatur bahasa Inggris. la
memberi contoh membaca buku bahasa Inggris kadang-kadang tertawa
terbahak-bahak, tersenyum,mengerutkan dahi dan sebagainya, untuk membangkitkan
minat anak terhadap buku itu. Modelling bisa diterapkan di sekolah
dengan mengambil guru maupun orang lain atau anak lain yang sebaya sebagai
model dari suatu tingkah laku, mungkin pelajaran Bahasa Arab, Bahasa Inggris,
dan lain-lain. Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademis,
misal siswa diajak ke suatu tempat di mana terdapat sesuatu yang bisa ditiru
oleh anak atau menghadirkan model tersebut ke dalam kelas/sekolah.
G.
Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah
Laku
- Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan penguatan
tingkah laku yang diinginkan misalnya dengan kegiatan-kegiatan kerjasama, membaca
dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan menentang, melamun,
dan hilir mudik. Contohnya, sekelompok siswa yang memperlihatkan tingkah laku
yang tidak diinginkan, yaitu menarik rambut, mengabaikan perintah guru,
berkelahi, berjalan sekeliling kelas. Sesudah menerapkan aturan-aturan kelas
kepada siswa, guru melupakan atau mengabaikan tingkah laku siswa yang mengacau
dan memuji tingkah laku siswa yang memberi kesempatan guru untuk mengajar.
Dalam beberapa waktu, social reinforcement untuk tingkah laku yang tepat
mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.
2. Ekstinksi
Ekstinksi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak
mendapat reinforcement lagi. Ekstinksi dilakukan dengan
membuat/meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstinksi dapat
dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti “modelling dan social
reinforcement”. Misalnya, Ana salah seorang siswi kelas tiga yang selalu mengacungkan
tangan ketika guru meminta para siswa untuk menjawab pertanyaan. Tetapi guru
tidak memberikan perhatian pada Ana yang ingin menjawab pertanyaan gurunya
tersebut. Suatu ketika Ana tidak mau lagi mengacungkan tangan ketika guru
meminta para siswa untuk menjawab pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya.
Ekstinksi berlangsung terutama jika reinforcement adalah perhatian.
Apabila murid memperhatikan ke sana ke mari, maka perubahan interaksi guru akan
menghentikan tingkah laku murid tersebut.
3. Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan
berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah yang
memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis satu pak
sehingga anak itu bosan.
4. Perubahan Lingkungan
Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli
yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika suatu tugas yang sulit mengecewakan
murid, maka guru dapat mengganti dengan tugas yang kurang begitu sulit. Jika di
kelas ada dua orang murid yang melamun, guru dapat menghampiri atau duduk di
dekat mereka.
5. Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas
dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan
dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement.
Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward
menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Bukti menunjukkan, bahwa
hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas lebih efektif daripada tidak
menghukum. Ada dua bentuk hukuman:
·
Pemberian stimulus derita, misalnya: bentakan, cemoohan, atau ancaman.
·
Pembatalan perlakuan positif, misalnya: mengambil kembali suatu mainan atau
mencegah anak untuk bermain-main bersama teman-temannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat
diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan.
Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau
negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang
digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti
dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Teori belajar behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku serta
sebagai akibat interaksi antara stimulus dan respon. Belajar merupakan suatu
proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Seseorang dianggap telah belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan
tingkah lakunya.
DAFTAR PUSTAKA
Bell Gredler, E.
Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali
Degeng, I Nyoman Sudana.
1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud
Haryanto. 2010. Teori
Belajar Behaviorisme. dalam
http://belajarpsikologi.com/teori-belajar-behaviorisme.
Ormrod, Jeanne Ellis .
2012 . Psikologi Pendidikan . United States of America : Pearson Education.
Slavin, Robert E . 2008
. Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktik . Jakarta : PT.Indeks.
Hadi, Ahmad. 2013. Teori
Belajar Behavioristik. dalam http://nudisaku.blogspot.com